Hippokrates (±460–375 SM) memisahkan ilmu kedokteran dari takhayul, dan menjadikannya sebagai disiplin yang ilmiah dan dapat diteliti. Namun, ia tetap menekankan sisi manusiawi dalam pengobatan. Ia berkata, “Jauh lebih penting mengetahui orang seperti apa yang menderita penyakit itu, daripada penyakit apa yang diderita orang itu.”
Saat masih muda, jurnalis Sebastian Junger menjelajahi Amerika Serikat dan menulis tentang pengalamannya di sana. Pada suatu hari di tahun 1980-an, ia memasuki sebuah toilet di kawasan Florida Keys dan menemukan dindingnya dipenuhi coretan bernada kebencian—sebagian besar coretan itu ditujukan kepada para imigran Kuba. Namun, ada satu pesan lain yang mencolok dari seseorang yang tampaknya berasal dari Kuba, yang berbunyi, “Puji Tuhan, sebagian besar orang yang kutemui di negara ini begitu hangat, peduli, dan menerimaku di tahun 1962.” Junger lalu mencatat, “Hal-hal terburuk dan terbaik tentang Amerika hadir berdampingan di dinding toilet pria itu.”
Awal musim dingin tahun 1941. Ibadah Minggu baru saja berakhir. Ayah saya dan saudara-saudaranya berjalan kaki pulang ke rumah, sementara ayah mereka masih berada di gereja. Namun kemudian, ketika berjalan menapaki bukit bersalju menuju rumahnya, beliau terlihat sedang menangis. Ia baru saja mendengar kabar bahwa Pearl Harbor telah dibom. Semua putranya, termasuk ayah saya, akan dipanggil negara untuk berperang. Ayah saya selalu mengenang kejadian itu dengan sangat jelas.
Charles telah tenggelam ke dalam depresi. Meski memiliki keluarga yang penuh kasih, ia tetap merasa sendirian. “Aku merasakan tekanan yang semakin besar untuk selalu mendukung mereka,” katanya, “dan rasanya aku ingin bunuh diri saja.” Yang mengejutkan—atau mungkin tidak—Charles Morris juga memimpin sebuah lembaga pelayanan Kristen.
Dalam blognya, Bronnie Ware mengulas berbagai penyesalan yang ia dengar saat merawat para penderita penyakit yang tidak tersembuhkan. Sebagai contoh, “Andai saja aku bekerja tidak terlalu keras,” “Aku menyesal tidak menjaga hubungan dengan teman-temanku,” dan yang mungkin paling menyentuh: “Seharusnya aku lebih membahagiakan diriku.”
Novel klasik karya Charles Dickens, Oliver Twist, mengisahkan bagaimana Oliver yang sakit-sakitan lahir di sebuah rumah sosial, sebuah institusi yang terkenal sering mengeksploitasi orang miskin. Bocah laki-laki yang yatim piatu sejak lahir itu akhirnya melarikan diri karena perlakuan yang kejam. Melalui serangkaian “liku-liku” yang menakjubkan, Oliver mengetahui bahwa ternyata ia seorang ahli waris dari harta berjumlah besar. Dickens, yang menyukai akhir yang bahagia, memastikan bahwa setiap orang yang menyakiti Oliver selama bertahun-tahun pasti menerima hukuman atau bertobat. Para penindas Oliver menerima ganjaran yang pantas mereka dapatkan, sementara Oliver “mewarisi tanah.” Andai saja realitas hidup memiliki akhir yang selalu berjalan sesuai harapan, seperti yang tertulis dalam novel-novel karya Dickens.
“Terkadang dalam hidup ini kita melihat hal-hal yang tidak dapat kita lupakan lagi,” kata Alexander McLean kepada pembawa acara program TV 60 Minutes. Warga London Selatan itu berusia 18 tahun ketika ia pergi ke Uganda untuk membantu pekerjaan di penjara dan rumah sakit. Di situlah McLean melihat sesuatu yang tidak dapat ia lupakan—seorang lelaki tua terbaring tak berdaya di samping sebuah toilet. Laki-laki itu kemudian dirawat oleh McLean selama lima hari, sebelum akhirnya meninggal.
Tiga remaja laki-laki yang sangat bersemangat berkeliaran dalam sistem saluran bawah tanah besar yang terhubung dengan Gua Mammoth. Mereka disertai oleh Paman Frank, seorang penjelajah gua veteran yang akrab dengan daerah tersebut. Karena mengetahui titik-titik yang terjal dan tempat-tempat berbahaya di sana, ia terus-menerus berseru kepada ketiga remaja itu, “Adik-adik, lewat sini!” Namun, ketiganya tetap berkelana semakin jauh darinya.
Kondisi Jem, bayi perempuan Amy dan Alan, sepertinya tanpa harapan. Terlahir dengan kondisi yang disebut trisomi-18, Jem diperkirakan akan meninggal dalam hitungan hari atau beberapa minggu. “Sia-sia saja merawatnya,” kata dokter dengan tega. Namun, sang ibu berkata, “Aku punya impian yang lebih besar untuknya.” Mereka membawa Jem pulang dan merawatnya dengan penuh kasih. Mereka juga berdoa.